
Pengalaman Kelam 1997–1998 sebagai Pelajaran Berharga dalam Kebijakan Ekonomi
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan kembali pengalaman pahit yang terjadi pada masa krisis ekonomi Indonesia antara tahun 1997 hingga 1998. Dalam sebuah rapat bersama Komisi XI DPR, ia menyoroti kebijakan Bank Indonesia yang dianggap sebagai kesalahan fatal yang memperparah situasi krisis tersebut. Salah satu tindakan yang disoroti adalah keputusan untuk menaikkan suku bunga hingga lebih dari 60 persen.
Purbaya menjelaskan bahwa saat itu, masyarakat dan para pelaku ekonomi berpikir bahwa kebijakan moneter yang diterapkan adalah kebijakan uang ketat. Namun, di balik itu, realitasnya justru berbeda. Ia menyatakan bahwa base money (uang beredar) tumbuh hingga 100 persen, yang menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak konsisten dan justru memicu keributan di pasar.
“Kebijakan yang kacau balau ini membuat kondisi semakin buruk. Mau ketat atau longgar? Tidak jelas. Dan dari kebijakan kacau itu, keluar setan-setannya,” ujarnya dengan nada tegas.
Menurut Purbaya, sektor riil pada masa itu sangat rentan karena tidak mampu menanggung beban bunga yang sangat tinggi. Ironisnya, aliran uang justru mengalir ke arah spekulasi yang menyerang nilai tukar rupiah. Hal ini membuat Indonesia secara tidak sadar membiayai kehancuran ekonominya sendiri.
Ia menegaskan bahwa masalah ini bukanlah karena para ekonom masa lalu bodoh. Namun, keadaan yang terjadi pada saat itu belum pernah dialami sebelumnya, sehingga para pengambil kebijakan belum memahami secara utuh bagaimana menghadapi situasi serupa.
Perubahan Pola Pikir Kebijakan Pasca-Krisis
Pengalaman pahit pada krisis 1997–1998 ternyata menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan otoritas moneter. Saat dunia dihantam krisis global pada tahun 2008, mereka tidak lagi terjebak dalam pola lama. Alih-alih mengetatkan kebijakan moneter, pemerintah justru mengambil langkah ekspansi fiskal pada tahun 2009, sementara Bank Indonesia menurunkan suku bunga di akhir 2008 meskipun rupiah sedang melemah.
“Jika kita ingin menjaga nilai tukar, maka kita harus menciptakan pertumbuhan ekonomi. Jika ingin pertumbuhan, kita harus menjaga kondisi likuiditas di sistem perekonomian. Itu yang dilakukan saat itu,” jelas Purbaya.
Ia menekankan bahwa semua pihak belajar dari pengalaman 1997. Namun, ia juga mengingatkan bahwa bangsa ini sering kali cepat lupa. Setiap tujuh tahun, siklus ekonomi berulang, naik, turun, dan kesalahan-kesalahan lama seringkali kembali terulang.
Pentingnya Konsistensi dalam Kebijakan Ekonomi
Purbaya menekankan bahwa konsistensi dalam kebijakan ekonomi sangat penting agar tragedi seperti 1997–1998 tidak terulang. Ia menilai bahwa krisis 1997 menjadi bukti bahwa bunga tinggi tidak otomatis bisa menyelamatkan rupiah, justru merusak sektor produksi. Tanpa koordinasi yang baik antara kebijakan fiskal dan moneter, ekonomi bisa terseret ke jurang kehancuran.
“Bunga tinggi menghancurkan sektor riil. Uang yang banyak justru digunakan untuk menyerang rupiah. Jadi kita benar-benar membiayai kehancuran ekonomi kita sendiri,” tegasnya.
Pernyataan Purbaya membuka kembali luka lama, sekaligus menjadi pengingat keras bahwa arah kebijakan ekonomi tidak boleh berjalan zig-zag. Bagi dia, pelajaran terbesar dari krisis 1997–1998 adalah bahwa konsistensi dan keberanian mengambil kebijakan yang mendukung pertumbuhan lebih penting daripada sekadar mengejar stabilitas semu.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!